Rabu, 16 Maret 2016

Buah dari Ketekunan dan Kesabaran Sebuah Penelitian, Cina Menghasilkan Padi Hibrida Unggul

Siapakah yang tidak mengenal padi hibrida? Komoditas yang satu ini mulai dilirik para pengusaha karena harga benih yang menggiurkan. Satu kg benih padi biasa dihargai sekitar Rp 5000-6000/kg, sedangkan padi hibrida bisa mencapai Rp 45.000-50.000/kg. Siapa yang tidak tergiur dengan nilai jual yang begitu tinggi. Apalagi beras adalah makanan pokok utama rakyat Indonesia, sehingga petani pasti mencarinya. Benih yang tidak bisa ditanam lagi ini membuat para pengusaha berlomba-lomba membuat benih padi hibrida sendiri, membeli lisensi dari peneliti padi hibrida, atau hanya sebagai pengimpor murni. Oleh sebab itulah penelitian padi hibrida adalah tambang emas bagi dunia penelitian padi dan tentu saja bagi pengusaha. Namun, betulkah padi hibrida seindah yang dibayangkan?

Prinsip Padi Hibrida

Kantor China National Hybrid Rice Research and Development. Di kantor inilah Prof. Yuan Long Ping bertugas sebagai direktur.
Prinsip padi hibrida adalah memanfaatkan sifat heterosis (hybrid vigor) ketika dua tetua yang berbeda dikawinkan. Benih yang dihasilkan (F1) ketika ditanam diharapkan akan memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan dua tetuanya. Prinsip inilah yang digunakan untuk memproduksi benih jagung hibrida. Ketika tetua jagung A dalam kondisi homozigot (didapatkan melalui perkawinan sendiri/selfing) disilangkan dengan tetua jagung B yang juga dalam kondisi homosigot, maka biji yang dihasilkannya adalah heterosigot yang ketika ditanam akan memberikan hasil (produksi) lebih baik dibandingkan dengan tetua A dan B. Persilangan buatan pada jagung jauh lebih mudah dibandingkan padi karena posisi bunga jantan dan betina terpisah di dalam satu pohon. Dalam skala industri bunga jantan yang tidak dikehendaki bisa dipotong menggunakan mesin. Namun, dengan adanya sifat mandul jantan pada jagung tetua A sebagai tetua betina tidak perlu dilakukan pemotongan bunga jantannya. Sederhana sekali. Bagaimanakah dengan padi? Tentu saja tidak bisa menggunakan prinsip kerja seperti pada jagung, sehingga mutlak diperlukan tetua A yang memiliki sifat mandul jantan, karena bunga padi sangat kecil dan banyak dan tidak mungkin dilakukan kastrasi (membuang benang sari) satu persatu.
Pada padi hibrida diperlukan 3 tetua, yakni tetua A sebagai galur yang punya sifat mandul jantan, sering disebut galur CMS (Cytoplasmic male sterility line) galur B (maintainer line) yang berfungsi sebagai tetua yang ketika disilangkan dengan tetua A bisa menghasilkan benih yang ketika ditanam tanamannya adalah mandul jantan juga. Tanpa tetua B benih-benih tetua A tidak mungkin bisa diproduksi. Tetua yang lain adalah tetua R (restorer), yakni tetua yang akan disilangkan dengan tetua A untuk menghasilkan benih F1. Ketiga tetua inilah yang dipakai sebagai modal untuk menghasilkan benih F1 yang bagus. Namun untuk mendapatkan 3 tetua tersebut tentu saja memerlukan waktu bertahun-tahun dan penelitian yang tidak mengenal lelah. Untuk memahami mekanisme kerja padi hibrida dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tetua A dan B merupakan pasangan yang tidak terpisahkan dan harus cocok secara genetik. Tetua A atau galur CMS merupakan galur yang secara genetik membawa sifat mandul jantan ditandai dengan tidak adanya kemampuan menghasilkan polen yang fertil. Sifat ini di bawa oleh DNA faktor S (steril) yang terdapat pada sitoplasma, ketika berinteraksi dengan DNA pada inti sel (rr) yang juga steril maka ekspresi polen menjadi steril juga. Pada persilangan CMS (A) dan maintainer (B), yang dipakai sebagai induk betina adalah galur A dengan gen S pada sitoplasma. Polen yang digunakan dari galur B bersifat fertil, namun gen S pada mitokondria B tidak terikut pada persilangan A x B. Oleh karena itulah benih-benih yang dihasilkan dari persilangan A x B ketika ditanam akan steril. Galur A dan B ini harus dicari dengan cara mengeskplorasi plasma nutfah yang ada, baik dari varietas lokal/ introduksi, japonica/indica, varietas liar, dan sebagainya. Persilangan dengan jarak genetik yang berbeda biasanya bisa menghasilkan tanaman CMS. Untuk menghasilkan tanaman A dan B yang kembar biasanya dilakukan silang balik berkali-kali. Hal ini perlu dilakukan agar ketika dilakukan persilangan dengan restorer tidak banyak variasi genetik pada tanaman CMS. Tanaman CMS harus seragam secara genetik. Dengan persilangan silang balik berulang-ulang akan dihasilkan tanaman CMS dan maintainer yang susunan genetik pada gen inti sama kecuali gen S pada sitoplasma.
Tabel 1.Mekanisme kerja padi hibrida.

Galur Fungsi Gen sitoplasma
Gen inti
Kondisi polen

A CMS S
(rr)
Steril

B Maintainer N
(rr)
Fertil

A/B F1 CMS (=CMS) S
(rr)
Steril

R Restorer N atau S
    (RR)
Fertil

A/R F1 Hybrid S
   (Rr)
Fertil

Kantor China National Hybrid Rice Research and Development. Di kantor inilah Prof. Yuan Long Ping bertugas sebagai direktur.
image0022-400x299
Galur restorer tidak sesulit mencari dan membuat galur A dan B, namun memerlukan pengujian persilangan berkali-kali. Begitu didapatkan beberapa galur A (beserta pasangannya), maka kandidat restorer disilangkan dengan galur A untuk dilihat fertilitas F1-nya. Walaupun secara teori gen yang dikandung pada benih F1 adalah S(Rr), tapi belum tentu tanaman F1-nya akan menghasilkan benih dalam keadaan utuh. Setelah didapatkan calon-calon restorer yang cocok dilakukan persilangan untuk menghasilkan benih F1. Benih F1 ditanam dan diuji daya gabungnya (combining ability) dan harus dibandingkan pula dengan varietas yang sudah ada. Benih F1 yang memiliki daya gabung tinggi, melebihi dari tetua standar diuji berkali-kali terhadap produksi, hama penyakit, kualitas beras/nasi, dan tentu saja diuji di beberapa lokasi untuk melihat potensi hasilnya.

Padi Hibrida Cina

Adalah Prof. Yuan Longping, seorang peneliti dari Cina dilahirkan di Beijing (Cina) pada tahun 1930 telah berhasil mengembangkan padi hibrida sedemikian rupa sehingga bisa berkembang pesat seperti sekarang ini. Dialah yang pertama kali mengemukakan ide penggunaan heterosis pada padi dan memulai penelitian padi hibrida di Cina pada tahun 1964 (umur 34 tahun). Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari tetua A (mandul jantan) secara alami dan pasangannya (tetua B). Upaya ini terus dilakukan sampai tahun 1970 dan ditemukan beberapa pasang tetua padi yang bisa dijadikan sebagai tetua A dan B. Pada tahun 1973 beberapa galur dari IRRI didatangkan dijadikan sebagai tetua restorer, dan ternyata ada yang cocok. Galur/benih F1 yang memberikan sifat superior ini dinamakan “Nan You No. 2” di mana mulai dikomersialkan di Cina pada tahun 1976. Terbukti padi hibrida pertama tersebut berhasil melebihi varietas komersial yang ada pada waktu itu. Penelitian padi hibrida Cina ini terus berlangsung sampai sekarang ini, dan karena dianggap penting maka didirikanlah pusat penelitian padi hibrida Cina, atau China National Hybrid Rice Research and Development pada tahun 1986, di mana Prof. Yuan Longping sebagai bapak padi hibrida Cina menjadi direktur sampai sekarang ini. Bahkan, pada usianya yang telah menginjak 92 tahun beliau masih sanggup menjadi nakhoda pusat penelitian padi hibrida Cina. Perlu diketahui instansi ini berada di bawah Minitry of Science and Technology (mirip Kementerian Riset dan Teknologi di Indonesia.
Perkembangan padi hibrida Cina bisa terbagi ke dalam beberapa tahap, yakni:
1.  Three lines system (periode 1960-1980).
2.  Two lines system (periode 1980-1995).
3.  Super hybrid rice (1996 sampai sekarang).
4.  One line system (baru tahap pengembangan).
Three lines system menggunakan tiga galur (A, B, dan R) dan sudah dijelaskan di atas. Produksi padi hibrida juga memerlukan kehati-hatian agar serbuk sari yang terpakai adalah benar-benar dari galur R, bukan dari tanaman padi lainnya. Oleh karena itulah kadang-kadang digunakan penghalang benda (plastik), penghalang tempat, penghalang waktu tanam, atau penghalang tanaman lain yang bisa menghalangi serbuk sari dari tanaman padi yang bukan yang dikehendaki. Perbandingan antara galur A dan R juga berbeda agar dihasilkan F1 hibrid sebanyak-banyaknya. Biasanya galur A jauh lebih banyak dibandingkan dengan galur R. Gibberellin (GA3) juga kadang digunakan untuk mempercepat pemanjangan malai-malai galur A agar ketika mekar tidak ada spikelet (bunga padi) yang masih tertinggal di dalam batang padi. Penyerbukan juga sering dibantu dengan menggoyang-goyangkan batang padi galur R) agar serbuk sarinya bisa sempurna beterbangan (rouging). Oleh karena di Cina hanya tempat-tempat di bagian selatan yang bisa ditanami padi secara terus menerus maka sebagian besar peneliti padi hibrida Cina menanamnya di Pulau Hainan (Cina bagian selatan, dekat Vietnam), dan mereka biasanya menunggu masa-masa kritis (masa pembungaan) tersebut dalam waktu 1 bulanan. Dari peneliti yunior sampai senior scientist akan bergabung di sana untuk mengawasi persilangan. Setelah proses penyerbukan selesai dan terlihat hasilnya bagus baru mereka pulang ke institusi masing-masing.
Two lines system menggunakan hanya dua galur saja, yakni A dan R. Galur A yang memiliki sifat sensitif terhadap lingkungan, sehingga sering disebut dengan Environment sensitive genic male sterility (EGMS). Galur EGMS ini juga terbagi ke dalam dua golongan, yakni photoperiod sensitive genic male sterile (PGMS) dan thermosensitive genic male sterile (TGMS). Pada sistem ini galur B tidak diperlukan lagi sehingga akan menghemat biaya produksi untuk menghasilkan benih-benih CMS. Prinsip kerja yang diadopsi adalah ketika suhu lingkungan melebihi ambang batas tanaman yang dimiliki TGMS, galur-galur tersebut akan memiliki serbuk sari yang steril (jantan mandul), namun ketika temperatur di bawah ambang batas maka tanaman akan fertil. Demikian pula pada tanaman dengan sifat PGMS, pada kondisi penyinaran yang melebihi ambang batas (biasanya terjadi pada musim panas) maka tanaman akan bersifat steril (jantan mandul terjadi), namun apabila panjang penyinaran lebih rendah dari ambang batas maka tanaman akan bersifat fertil.
Cina memiliki karakter dengan wilayah yang berbukit-bukit dan sebagian adalah padang pasir dan bersalju. Cina juga memiliki empat musim yang bisa mempengaruhi suhu udara dan panjang penyinaran. Penerapan sistem PGMS dan TGMS di Cina bisa dilakukan dengan mudah. Pada saat suhu rendah dengan waktu penyinaran pendek maka dilakukan perbanyakan benih CMS (galur A) sebanyak-banyaknya, dan pada saat suhu tinggi dan waktu penyinaran lebih panjang galur A tadi ditanam sebagai tanaman CMS yang akan diserbuki oleh galur restorer untuk menghasilkan benih F1 hibrid. Pada PGMS titik kritis waktu penyinaran adalah 13,75-14 jam dengan intensitas pe-nyinaran di atas 50 Lux, sedangkan pada TGMS titik kritis suhu udara adalah 23-29oC. Setiap galur/varietas biasanya memiliki titik kritis yang berbeda-beda, baik suhu dan waktu penyinaran. Biasanya tiap-tiap galur akan diuji coba untuk melihat galur mana yang sesuai dengan kondisi di daerah Cina. Untuk mendapatkan galur-galur PGMS dan TGMS mereka mengeksplorasi plasma nutfah yang dimiliki dan juga melakukan mutasi dengan radiasi sinar gamma. Galur TGMS telah berhasil dibuat di Jepang dengan penyinaran 20.000 rad sinar gamma. Galur tersebut dinamakan Reimei. Peneliti IRRI juga berhasil membuat TGMS mutan dari padi indica (IR32364-20-1-3-2) yang terlihat steril pada suhu 24-31oC, namun sebagian fertil pada suhu 21-28oC). Gen-gen yang mengatur PGMS dan TGMS juga telah diidentifikasi ternyata dikendalikan oleh gen inti, sehingga upaya transfer gen baik dengan persilangan atau rekayasa genetik bisa dilakukan.
Namun, PGMS dan TGMS memiliki kelemahan yakni apabila terjadi anomali iklim produksi benih F1 hibrid menjadi terhambat atau gagal. Sebagai contoh misalnya pada saat pembungaan biasanya berlangsung pada saat musim panas, ternyata pada saat itu suhu justru turun masih di bawah ambang batas dan waktu penyinaran pendek (banyak awan dan hujan). Tanaman kemungkinan besar akan fertil atau sebagian steril. Benih F1 yang dihasilkan menjadi tidak murni. Oleh karena itulah sistem dua galur memerlukan kajian yang mendalam. Bisa jadi tempat produksi benih galur A akan berbeda dengan produksi benih F1 hibridnya. Produksi benih galur A dilakukan di daerah dengan suhu rendah dan waktu penyinaran pendek, sedangkan produksi F1 hibridnya dilakukan di daerah yang memang suhu udaranya selalu tinggi (daerah tropis).
Selain PGMS dan TGMS sekarang juga dikembangkan galur anti PGMS dan anti TGMS. Artinya, berkebalikan dengan yang sebenarnya. Anti PGMS akan steril pada saat ditanam di daerah dengan waktu penyinaran pendek, dan fertil pada daerah dengan waktu penyinaran panjang. Demikian pula anti TGMS, akan bersifat steril pada saat suhu rendah dan bersifat fertil pada saat suhu tinggi. Dengan sifat seperti itu produksi benih F1 hibrid bisa dilakukan di mana saja dengan kondisi cuaca apa saja. Hal ini akan memberikan peluang produksi benih padi F1 hibrid sebanyak-banyaknya.
Teknologi ini merupakan terobosan teknologi untuk mengembangkan sayap perusahaan benih Cina di daerah tropis, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan lain-lain. Produksi galur A bisa dilakukan secara besar-besaran di Cina pada saat musim dingin atau di tempat yang memang selalu mengalami musim dingin (Cina bagina utara), sedangkan produksi benih hibridnya dilakukan setiap saat di daerah tropis yang suhu lingkungannya jauh melebihi ambang batas tanaman EGMS. Dengan teknik ini produksi benih tetap bisa dilakukan setiap tahun. Keberadaan galur CMS tetap aman karena hanya bisa diproduksi di Cina saja.
Super hybrid rice mengacu pada pengertian produksi padi yang dihasilkan dari benih padi hibrida adalah sangat tinggi melebihi yang sudah ada. Di Indonesia, padi inbreed yang sudah dilepas saat ini rata-rata produksinya sekitar 7-8 ton/ha GKG. Pada hibrida saat itu memiliki kemampuan (potensi hasil) 8-10 ton/ga GKG, bahkan ada yang mengklaim bisa menghasilkan 12-15 ton/ha GKG. Namun pada kenyataan produksi yang dihasilkan tidak sebesar itu.
Sampai periode tahun 2000-an produksi padi hibrida di Cina sudah mencapai 12 ton/ha. Maka lahirlah pemikiran untuk merakit padi hibrida super dengan target produksi minimal 15 ton/ha GKG. Berbagai pendekatan dilakukan untuk merakit padi hibrida seperti itu. Pada penelitian awal mereka telah berhasil mendapatkan kombinasi persilangan P64S/E32 dengan hasil sampai 17,1 ton/ha. Peneliti Cina melakukan perbaikan padi hibrida dengan pendekatan (i) perbaikan morfologi (ii) peningkatan level heterosis, dan (iii) bioteknologi. Pada perbaikan morfologi tanaman F1 hibrid diarahkan memiliki bentuk daun yang seperti V, panjang, tegak, tipis, dan lebar. Daun yang tegak diharapkan bisa menyerap sinar matahari secara efisien. Ujung malai juga dipilih 60-70 cm dari tanah selama masa pengisian biji, lebih rendah dari yang biasanya. Ukuran malai juga harus lebih besar. Dengan berat butir isi per malai sekitar 5 g dan jumlah malai sekitar 300/m2 maka secara teori potensi hasil adalah 15 ton/ha.
Perakitan padi hibrida super lainnya adalah dengan cara meningkatkan heterositas dengan menyilangkan varietas yang berjarak genetik jauh. Upaya ini sebetulnya sudah dilakukan pada saat periode I dan II, namun tentu saja pada program padi hibrida super ini dikombinasikan dengan bioteknologi. Berbagai gen-gen dari padi varietas liar dimasukkan ke dalam tetua padi hibrida untuk mendongkrak produksi. Gen-gen C4 (dari tanaman Echinochloa crusgalli) untuk meningkatkan efisiensi fotosintesis juga dimasukkan melalui teknologi rekayasa genetika. Gen lain seperti Bt, cpc juga digunakan dalam program ini. MAS/MAB juga tak luput digunakan dalam program ini. Pada tahun 2001 penanaman secara luas padi hibrida super telah dilakukan dengan rata-rata hasil sekitar 13,5 ton/ha. Tahun-tahun berikutnya diharapkan akan lebih besar.
One line system, menggunakan pertimbangan bahwa F1 hibrid yang sudah stabil dan bagus mestinya bisa diperbanyak tanpa mengurangi sifat heterosisnya. Secara teori banyak yang bisa dilakukan, yakni: propogasi secara aseksual (misal dengan ratoon atau membelah tanaman), kultur jaringan, menggunakan “balanced lethal system” (tanaman homosigot akan mati, yang heterosigot hidup), benih apomiksis (satu benih bisa banyak tanaman), genom amphidiploid (jumlah kromosom di duakalikan, sehingga sifat tanaman akan stabil walaupun genomnya terpisah saat terjadi meiosis). Di antara berbagai teknik tersebut benih apomiksis menjadi fokus penelitian. Pengembangan benih apomiksis ini sudah dilakukan peneliti Cina sekitar tahun 1980-an, dan sudah didapatkan beberapa galur yang bersifat poliembrionik. Namun, pengembangan secara komersial belum dilakukan karena mengalami kendala teknik. Gen-gen yang mengatur apomiksis tersebut bisa dipetakan dan marka yang diperoleh bisa digunakan sebagai alat seleksi.

Produksi Benih Hibrida Cina dan Indonesia

Bagaimanakah sistem produksi benih padi hibrida Cina? Produksi benih padi F1 hibrid di Cina dilakukan oleh perusahaan benih swasta, sedangkan penelitian dilakukan oleh lembaga penelitian dan universitas. Penelitian padi hibrida Cina tidak dikontrol oleh satu lembaga, namun diserahkan kepada masing-masing universitas/lembaga penelitian. Tidak ada petunjuk teknis lembaga A meneliti padi hibrida dari aspek ini atau itu, namun sebagai pionir penelitian padi hibrida, institusi ini (China National Hybrid Rice Research Research and Development) selalu menjadi bahan rujukan, apalagi Prof. Yuan Longping masih memimpin lembaga ini. Masing-masing provinsi di Cina memiliki keunikan daerah tersendiri. Padi hibrida di satu provinsi belum tentu cocok untuk provinsi yang lain. Para peneliti padi hibrida Cina kadang melakukan pertemuan tapi hanya sebagai tempat berbagi pengalaman penelitian padi hibrida, bukan untuk mengatur pembagian topik penelitian padi hibrida. Setiap lembaga diberi kebebasan untuk menggali sumber daya/plasma nutfah padi yang ada. Perlu diingat bahwa Cina disinyalir sebagai tempat asal muasal padi, jadi ribuan jenis padi-padian ada di sini. Daerah Cina juga terdiri dari berbagai macam tipe iklim dari tropik sampai subtropik, sampai daerah bersalju pun punya. Berbagai macam tipe daerah ini menjadikan Cina mempunyai peluang mengembangkan padi hibrida untuk berbagai tipe iklim. Satu provinsi di Cina pun juga terdiri dari wilayah yang sangat luas dan beragam topografinya. Potensi pengembangan padi hibrida di Cina masih terbuka lebar.
Di antara sekian perusahaan benih yang ada di Cina, ada satu yang sangat menonjol yakni Yuan Long Ping High-Tech Agriculture Co, Ltd. Perusahaan ini merupakan BUMN yang sahamnya telah dijual bebas, namun kepemilikan mayoritas saham masih dikuasai oleh pemerintah Cina. Penggagas utama pendirian perusahaan ini adalah Prof. Yuan Longping. Perusahaan ini bahkan memiliki anak perusahaan sekitar 26 buah. Raksasa perusahaan benih ini juga telah merambah masuk ke Indonesia melalui perusahaan benih lokal tentunya. Mereka memasok benih ke Indonesia, disertai dengan pendampingan teknis. Atas kepintaran perusahaan benih Cina mempromosikan benih padi hibrida, hampir semua negara di Asia Tenggara telah memasukkan benih padi hibrida asal Cina ini sebagai salah satu pilihan benih padi hibrida. Setiap tahun Yuan Long Ping High-Tech Agriculture Co, Ltd membiayai ratusan peserta training padi hibrida di kota Changsa dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia. Kadang pejabat-pejabat dari berbagai negara juga difasilitasi untuk melihat perkembangan padi hibrida Cina. Sebuah promosi yang cukup memakan biaya besar namun dipastikan akan kembali modal dalam beberapa tahun ke depan.
Tak bisa dipungkiri keuntungan luar biasa yang diperoleh dengan menjual benih menjadi daya tarik kenapa perusahaan lokal di Indonesia sangat antusias menjual padi hibrida. Harga benih padi hibrida per kilonya bisa mencapai 6-8 kali daripada benih inbreed. Menurut petunjuk teknis dari Diperta Jabar kebutuhan benih satu hektar sekitar 25 kg (padi sawah), dan 30 kg (padi gogo). Kalau 1 kg padi hibrida dihargai Rp 50.000, maka satu hektar akan memerlukan benih Rp 1.250.000-Rp 1.500.000. Seandainya benih hibrida terjual untuk lahan dengan luas 1 juta hektar, maka omzet perusahaan akan mencapai Rp 1.250.000.000.000-Rp 1.500.000.000.000 (1,2-1,5 triliun rupiah). Itu hanya untuk satu musim tanam saja. Seandainya terjual untuk dua musim tanam berarti omzet perusahaan bisa mencapai 2,4-3 triliunan rupiah per tahun untuk satu juta hektar. Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2009, luas panen padi sawah Indonesia sekitar 12,800,000 hektar. Berarti omzet padi hibrida untuk padi sawah di Indonesia maksimal sekitar 30,72-38,4 triliun rupiah per tahun. Jauh lebih menguntungkan dibandingkan mendatangkan benih-benih tanaman transgenik yang penuh kontroversial. Semuanya aman dan terkendali. Oleh karena itulah perusahaan lokal Indonesia mendatangkan benih dari luar negeri (terutama Cina), atau membeli lisensi pada lembaga penelitian di Indonesia, misalnya yang sudah terjadi pada BB Padi. Harga lisensi bisa mencapai USD10,000 (hampir 1 miliar rupiah). Kalau anda sebagai petani/peneliti independen, maka anda pun bisa menjual karya padi hibrida anda seharga itu. Nilai 1 miliar rupiah terlalu kecil bagi sebuah perusahaan benih swasta karena triliunan rupiah bakal kembali dalam waktu satu tahun.
Benarkah padi hibrida itu seindah yang dibayangkan? Ternyata masih banyak persoalan dibalik pengembangan padi hibrida. Dari beberapa laporan tertulis ataupun lisan (diperoleh selama kunjungan dinas), ada beberapa hal yang perlu dikaji ulang mengenai pertanaman padi hibrida di Indonesia, yakni:
1.  Harga yang masih terlalu mahal untuk ukuran petani Indonesia. Harga benih padi hibrida hanya cocok untuk sistem perusahaan besar, dengan lahan yang luas sekali. Memang benar saat ini benih padi hibrida digratiskan untuk petani lewat subsidi benih, namun seandainya subsidi dicabut petani akan kesulitan untuk membelinya.
2.  Benih F1 hibrid tidak bisa disimpan untuk ditanam pada generasi berikutnya, sehingga petani tidak akan bisa mandiri. Ketergantungan benih akan semakin menyulitkan petani ketika dia akan menanam padi. Apabila petani berniat menanam benih inbreed dia akan kesulitan mencarinya karena saprodi akan lebih suka menjual benih padi hibrida karena keuntungan yang lebih besar. Kepunahan benih-benih padi inbreed bisa saja terjadi seandainya 100% lahan padi Indonesia ditanami padi hibrida.
3.  Berdasarkan pengujian lapang, tidak semua tempat bisa menghasilkan produksi tinggi sesuai yang dijanjikan/dipromosikan. Sama seperti padi inbreed memang tidak semua tempat memiliki persyaratan optimal untuk pertumbuhan. Oleh karena itulah diperlukan kajian lebih mendalam mengenai padi hibrida agar dapat direkomendasikan di daerah mana saja cocok untuk padi hibrida, agar pengharapan petani tidak terlampau tinggi.
4.  Tanaman F1 hibrid umumnya adalah tanaman yang manja dan memerlukan input (pestisida dan pupuk) lebih banyak dibandingkan dengan tanaman inbreed. Analisis ekonomi perlu diperhitungkan juga apakah petani untung atau rugi ketika menanam padi hibrida.
Bagaimanakah padi hibrida di tingkat petani Cina? Sejak padi hibrida Cina dikomersialkan pada tahun 1976 (36 tahun yang lalu) telah ratusan jenis padi hibrida dihasilkan. Sampai tahun 2012 areal yang telah ditanami padi hibrida sudah mencapai 55-60% dari luas total pertanaman (di Indonesia masih kurang dari 5%). Pada awal pengenalan padi hibrida pemerintah Cina masih memberikan subsidi benih kepada petani (sama dengan di Indonesia saat ini). Seiring dengan waktu maka subsidi benih tersebut dicabut dan petani harus membayar mahal untuk benih padi hibrida. Sebagai perbandingan, saat ini benih 1 kg padi hibrida super sekitar 80 Yuan/kg (= Rp 104.000), benih padi hibrida biasa (bukan super) sekitar 40-50 Yuan/kg (=Rp 52.000-Rp 65.000), sedangkan harga benih padi inbreed sekitar 3-5 Yuan/kg (Rp 3.900-Rp 6.500). Kebutuhan benih di Cina adalah 15 kg/ha pada saat musim tanam 1 (awal musim panas), dan 25-30 kg/ha pada saat musim tanam II (akhir musim panas awal musim gugur/dingin). Petani memang harus merogok kocek cukup dalam untuk menanam padi hibrida. Namun, karena sudah puluhan tahun berpengalaman menanam padi hibrida mereka masih konsisten menanamnya, karena harga benih yang mahal akan tertutupi dengan hasil panen yang cukup tinggi.
Sebagai gambaran di Indonesia, misal panen padi biasa menghasilkan 7 ton/ha, padi hibrida super menghasilkan 15 ton/ha, dan harga 1 kg padi hasil panen (GKG) adalah Rp 4.500, maka penghasilan kotor petani padi hibrida Indonesia sebesar 15.000 kg x Rp 4.500 = Rp 67.500.000/ha per musim tanam. Harga benih yang harus ditebus (bila subsidi dicabut) adalah 25 kg x Rp 104.000 = Rp 2.600.000/ha. Kalau memakai benih biasa seharga 25 kg x Rp 5.000 = Rp 125.000/ha. Selisih harga benih yang harus ditebus adalah Rp 2.475.000. Memang cukup besar, namun biaya tersebut dapat ditutupi hanya dari kelebihan 1 ton hasil. Dengan perbaikan sistem pertanaman, mungkin kebutuhan benih bisa ditekan seminimal mungkin. Keuntungan menanam padi hibrida memang cukup menggiurkan, namun kadang kenyataan tidak selalu cocok dengan teori.
Melihat masih pro kontranya tanaman padi hibrida di kalangan petani, sebaiknya petani dibebaskan untuk memilih apakah dia akan menanam padi hibrida atau tidak. Petani biasanya sudah memiliki perhitungan tersendiri. Kalau dia merasa untung dengan menanam padi hibrida pasti dia akan terus menerus mencari benih padi hibrida, namun apabila baru menanam sekali sudah rugi pasti dia tidak akan menanam padi hibrida lagi. Semoga saja produsen benih juga menyadari tentang hal itu, yakni tetap memproduksi benih inbreed bersertifikat di samping benih padi hibrida sendiri.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari peneliti padi hibrida BB Padi, dari tahun 2002-2010 telah dilepas 67 varietas padi hibrida, jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan padi inbreed dalam rentang waktu yang sama. Tercatat ada 13 perusahaan benih swasta yang ikut bermain di dalam bisnis padi hibrida ini. BB Padi sendiri telah merilis 17 jenis. Tetua-tetua padi hibrida (umumnya CMS dan maintainer) didatangkan dari luar negeri, seperti IRRI, Jepang, India, dan Cina, dengan dominasi masih dipegang Cina. Untuk memenuhi kebutuhan benih hibrida di Indonesia sebagian besar masih diimpor (didatangkan langsung) dari luar negeri, dan mungkin hanya sebagian kecil saja yang dibuat di Indonesia. Benih padi hibrida ini juga telah dimasukkan ke dalam paket subsidi saprodi ke petani dengan harapan produksi beras dapat ditingkatkan sesuai dengan target pemerintah. Lewat bantuan benih (subsidi benih) inilah pemain-pemain padi hibrida swasta memasok benih padi hibrida. Subsidi pemerintah juga cukup besar, sekitar 2 triliunan rupiah untuk satu tahun anggaran. Maksud baik pemerintah ini semoga menjadi harapan yang nyata.
Sumber Bacaan
  1. Anonim. 2005. Hybrid Rice and World Food Security (kumpulan makalah). Yuan Longping and Peng Jiming (eds.). China Science and Technology Press. 197 p..
  2. Anonim. 2011. Proyek Padi Hibrida dan Nasib Petani. http://aktual.blogdetik. com/2011/01/08/proyek-padi-hibrida-dan-nasib-petani/
  3. http://www.lpht.com.cn/eng/company/Company.htm (Profile of Long Ping Hi Tech Company)
  4. Yuan Long-Ping and Fu, Xi-Qin. 1995. Technology of hybrid rice production. FAO. 84 pages.

0 komentar:

Posting Komentar