Jumat, 04 Maret 2016

Standardisasi di Pertanian Indonesia

Dasar hukum sistem standardisasi produk pertanian nasional sesuai dengan SK Menteri Pertanian No. 170/Kpts/OT.210/3/2002 tentang Pelaksanaan Standardisasi Nasional di Bidang Pertanian. SK tersebut merumuskan mengenai perumusan dan penetapan standar, penerapan standar, akreditasi dan sertifikasi, pembinaan dan pengawasan serta saksi. 
Sesuai Permentan No. 58 / Permentan / OT.140 / 8 / 2007 tentang Sistem Standardisasi Nasional di Bidang Pertanian bahwa untuk mendapatkan sertifikat sistem mutu, pelaku usaha di bidang pertanian wajib memenuhi persyaratan sistem manajemen mutu produk pangan segar atau non pangan yang ditetapkan pada standar di bidang pertanian :
§  Menteri Negara Riset dan Teknologi / Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi selaku Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menyetujui beberapa Standar Komoditi Hasil Pertanian menjadi Standar Nasional Indonesia.
§  Jaminan mutu pangan produk pertanian harus memenuhi sistem mutu berdasar konsepsi HACCP atau SNI 01-4852-1998, atau Sistem Pangan Organik atau SNI 01-6729 - 2002; atau Sistem Mutu ISO 22000:2005 tentang sistem mutu keamanan pangan.
§  Jaminan mutu non pangan produk pertanian memenuhi  ISO 9001 - 2000 atau SNI 19-9001 - 2000

 Standarisasi yang Ada di Pertanian meliputi Prosedur, Persyaratan, dan Kegunaannya
Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib melalui kerjasama dengan semua pihak yang berkepentingan. Standardisasi mutu produk berkaitan dengan appeareance/kenampakan, seperti : ukuran besar/volume, warna, kandungan air dan sebagainya yang ditentukan oleh penjual dan pembeli. Selain itu, mutu produk juga dikaitkan dengan masalah keamanan pangan, keamanan bagi manusia, hewan dan tumbuhan serta lingkungan. Standar standar produksi dan pengolahan produk pertanian semuanya disusun sebagai alat yang membantu mencegah tersingkirnya sebuah produk dari pasar.
Standarisasi tinkat Internasional :
1. Metode HACCP (Hazard Analysis & Critical Control Points)
HACCP merupakan suatu konsepsi manajemen mutu yang diterapkan untuk memberikan jaminan keamanan produk pangan. Metode HACCP merupakan suatu metode untuk melakukan risk analysis / analisa resiko terhadap bahaya yang disebabkan oleh makanan dalam proses penyediaannya dan setiap organisasi yang menjual produknya diwajibkan memenuhi persyaratan tersebut. HACCP merupakan suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan kepada kesadaran bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendaliannya untuk mengontrol bahaya bahaya tersebut. Sistem HACCP adalah alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik. Walaupun saat ini aplikasi HACCP baru dilaksanakan oleh industri-industri besar, tapi prinsip-prinsip dasarnya dapat diterapkan untuk industri kecil sebagai penopang industri pangan tradisional di tanah air.
v  Tujuan HACCP
Tujuan Umum: Meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui makanan (“Food born disease”).
Tujuan Khusus :
         Mengevaluasi cara produksi makanan à  bahaya
         Memperbaiki cara produksi makanan à critical process
         Memantau & mengevaluasi penanganan, pengolahan, sanitasi dan meningkatkan inspeksi mandiri

HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari produsen utama bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran hingga sampai kepada pengguna akhir. kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan untuk perdagangan domestik maupun global, yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang aman.
  • Praktek Pertanian yang baik atau Good Agricultural Practices (GAP)
GAP/SOP adalah untuk menjadi panduan umum dalam melaksanakan budidaya tanaman buah, sayur, biofarmaka, dan tanaman hias secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan dan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan dan kesejahteraan petani, serta usaha produksi yang berkelanjutan.
Departemen Pertanian (2008) menerangkan bahwa penerapan GAP melalui Standar Operasional Prosedur (SOP) yang spesifik lokasi, spesifik komoditas dan spesifik sasaran pasarnya, dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan petani agar memenuhi kebutuhan konsumen dan memiliki daya saing tinggi dibandingkan dengan produk padanannya dari luar negeri. Dasar hukum penerapan GAP di Indonesia adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 61/Permentan/OT.160/11/2006, tanggal 28 November 2006 untuk komoditi buah, sedangkan untuk komoditas sayuran masih dalam proses penerbitan menjadi Permentan. Dengan demikian penerapan GAP oleh pelaku usaha mendapat dukungan legal dari pemerintah pusat maupun daerah.
Tahapan kegiatan pelaksanaan penerapan GAP/SOP adalah sebagai berikut : (1) sosialisasi GAP, (2) penyusunan dan perbanyakan SOP budidaya, (3) penerapan GAP/SOP budidaya, (4) identifikasi kebun/lahan usaha, (5) penilaian kebun/lahan usaha, (6) kebun/lahan usaha tercatat/teregister, (7) penghargaan kebun/lahan usaha GAP kategori Prima-3, Prima-2 dan Prima-1, dan (8) labelisasi produk prima.
Untuk mempercepat penerapan GAP/SOP dilakukan hal-hal sebagai berikut : (1) Mendorong terwujudnya Supply Chain Management (SCM), (2) Merubah paradigma pola produksi menjadi market driven, (3) Mendorong peran supermarket, retailer, supplier, dan eksportir untuk mempersyaratkan mutu dan jaminan keamanan pangan pada produk, (4) Penyediaan tenaga pendamping penerapan GAP, (5) Melakukan sinkronisasi dengan program instansi terkait lainnya, (6) Perumusan program bersama instansi terkait lainnya dan melakukan promosi, (7) Target kuantitatif pencapaian kebun GAP tercantum dalam Renstra Departemen Pertanian, (8) Membentuk dan memberdayakan lembaga sertifikasi untuk melakukan sertifikasi kebun dan produk Prima dan (9) Mendorong sosialisasi mekanisme sistem sertifikasi dan perangkatnya.
Penyebab belum diterapkannya GAP berbagai negara adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menerapkannya.. Menurut Woods dan Suzanne (2005) saat melakukan penelitian dalam menghitung biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan Good Agricultural Practices dalam budidaya tanaman strawberry di sembilan negara bagian di Amerika, ternyata penerapan GAP untuk tanaman strawberry dibutuhkan biaya berkisar pada US$ 288 /ha/musim tanam. Biaya tersebut antara lain untuk penyediaan toilet dan tempat cuci tangan di sekitar lahan bagi pemetik strawberry baik untuk pekerja maupun pengunjung, pelatihan hygiene, pengepakan dan sanitasi pendingin, pennggunaan baki sekali pakai apabila diperlukan, monitoring penggunaan air untuk irigasi dan pengembangan rencana  penanganan manajemen krisis bagi usaha apabila terjadi keracunan yang ditemukan dalam makanan.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan tentu menjadi kendala besar untuk dapat diterapkan oleh para petani di Indonesia yang mayoritas masih berkutat dengan masalah kemiskinan dan lemah dalam SDM terutama dilihat dari tingkat pendidikan para petani di Indonesia. Untuk menerapkan GAP di Indonesia saat ini dioptimalkan untuk dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis yang berskala besar dan berorientasi ekspor.
  • GHP (Good Handling Practice)
GHP merupakan prosedur sanitasi untuk distribusi buah dan sayuran dari ladang hingga ke meja makan. Penerapan GHP dapat membantu mengurangi resiko kontaminasi terhadap produk segar selama penanganan, pengemasan, penyimpanan dan transportasi. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk meningkatkan penerapan penanganan pascapanen di tingkat petani/gapoktan, asosiasi dan pengusaha, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen yang Baik (Good Handling Practices/GHP) Hasil Pertanian Asal Tanaman. Program jaminan keamanan pangan meliputi program persyaratan (GAP, GMP, GHP, SOP) dan penerapan sistem HACCP serta ISO. Permentan No. 44 tahun 2009 tentang Good Handling Practices diterbitkan dengan tujuan menekan kehilangan/kerusakan hasil, memperpanjang daya simpan, mempertahankan kesegaran, meningkatkan daya guna, meningkatkan nilai tambah dan daya saing, meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dan sarana dan memberikan keuntungan yang optimun dan/atau mengembangkan usaha pascapanen yang berkelanjutan.
  • GMP atau Good Manufacturing Practices
GMP atau Good Manufacturing Practices Adalah Cara / teknik berproduksi yang baik dan benar untuk menghasilkan produk yang benar memenuhi persyaratan mutu dan keamanan. GMP merupakan sistem pengendalian kualitas produk makanan, kosmetik dan obat-obatan yang pertama kali dikembangkan oleh FDA, sama seperti HACCP. GMP berisi kebijakan, prosedur dan metode yang digunakan sebagai pedoman untuk menghasilkan produk yang memenuhi standar kualitas dan higiene yang ditetapkan. Good Manufacturing Practices lebih berperan dalam proses produksi karena elemen-elemen dalam GMP merupakan elemen-elemen dalam sistem produksi

  • GDP atau Good Distribution Practices
Good Distribution Practice (GDP) adalah bagian dari fungsi pemastian kualitas (quality assurance), untuk memastikan produk, agar secara konsisten disimpan, dikirim, dan ditangani sesuai kondisi yang dipersyaratkan oleh spesifikasi produk. Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice (GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% – 44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan.
Secara khusus GDP diterapkan didalam industri farmasi/obat-obatan dengan nama lokal yaitu CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik) dan dikontrol secara langsung oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Namun ternyata tidak ada yang salah saat prinsip-prinsip GDP ini diterapkan disemua jenis industri selain industri farmasi. Good Distribution Practice atau GDP adalah sistem jaminan kualitas yang berhubungan dengan persyaratan : pengadaan, penerimaan, penyimpanan da pengiriman obat-obatan.
  • GRP (Good Retailing Practices)
Sebagai rantai pangan terakhir yang langsung berhubungan dengan konsumen yang akan mengkonsumsi produk pangan, ritel memainkan peranan penting sebagai katup pengaman terakhir yang harus dapat memastikan bahwa produk yang nantinya akan dikonsumsi masyarakat adalah benar-benar aman. Untuk memberikan jaminan keamanan terhadap produk pangan yang dijualnya supermarket perlu menerapkan cara-cara yang baik dan benar (best practices) dalam sistem usahanya. Hal ini telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah no 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan pada rantai pangan yang meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemenuhan persyaratan sanitasi tersebut dilakukan dengan cara menerapkan pedoman cara yang baik dan untuk bisnis ritel adalah dengan menerapkan Cara Ritel Pangan yang Baik atau Good Retailing Practices (GRP). Agar pangan yang dijual benar-benar terjamin aman, selain dengan menerapkan GRP, pengusaha ritel harus dapat mensyaratkan kepada pemasoknya untuk menerapkan cara –cara yang baik dalam produksi, maupun distribusinya termasuk dapat meminta kepada pemasok untuk menunjukkan sertifikat yang membuktikan bahwa pemasok atau petani telah menerapkan pedoman cara-cara yang baik tersebut.
Peraturan Pemerintah no 28 tahun 2004 pasal 8 menyebutkan bahwa pedoman cara ritel pangan yang baik atau Good Retailing Practices adalah cara ritel yang memperhatikan aspek keamanan pangan. Secara lebih jelas GRP dalam bidang pangan dapat didefinisikan sebagai praktek-praktek yang dianjurkan dalam usaha ritel untuk menjamin bahwa produk pangan yang dijual di ritel tersebut adalah aman, bebas dari risiko yang dapat mengganggu kesehatan manusia sambil juga memperhatikan kesehatan dan keselamatan pekerja dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Secara umum penerapan GRP dalam Penanganan Pangan mempunyai tujuan dan manfaat yang lebih luas dari sekedar keamanan pangan, diantaranya:
-          Menjaga dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap usaha ritel.
-          Meningkatkan daya saing usaha ritel.
-          Memenuhi persyaratan undang-undang dan peraturan.
-          Mengurangi klaim kasus keracunan/kerugian yang diajukan konsumen.
  • GCP (Good Cathering Practices) atau cara mengkonsumsi yang baik
-          Berhubungan dengan keamanan produk pangan sampai pada konsumen akhir
Info layanan konsumen à kepuasan konsumen/pelanggan sebagai acuan
Sumber : indaharitonang-fakultaspertanianunpad.blogspot.co.id

0 komentar:

Posting Komentar